Jorjoran Bonus Rp2 M Berpotensi Kecurangan, Mental Atlet Dipertaruhkan
Rabu, 10 Februari 2016 - 11:33 WIB

Jorjoran Bonus Rp2 M Berpotensi Kecurangan, Mental Atlet Dipertaruhkan
A
A
A
SEMARANG - KONI Jawa Tengah tidak risau dengan rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama yang memberi bonus Rp2 miliar bagi peraih emas PON 2016. Curang atau tidaknya atlet saat turun di PON XIX, tergantung dari semangat kedaerahan masing-masing individu atlet.
''Saya sudah mendengar kabar itu. Bagi KONI, ini dikembalikan kepada atletnya masing-masing, namanya mental, ideologi dipertaruhkan,”kata Wakil Ketua KONI I Sukahar, Selasa (10/2).
Menurut Sukahar, sebagai pahlawan olahraga, seharusnya atlet tidak terjebak dengan guyuran bonus dari provinsi yang lain, sehingga tampil tidak profesional, bermain mata dengan atlet dari DKI Jakarta. ''Jateng sudah memikirkan hal itu. Mereka kan juga telah mendapatkan pembinaan dari provinsi ini,''ucapnya.
Baca juga: Niat Ahok Beri Bonus Rp2 M bagi Peraih Emas PON 2016 Rusak Pembinaan Olahraga
Terkait dengan besaran bonus peraih medali emas, perak dan perunggu dalam PON XIX/2016 di Jawa Barat, dia mengaku belum bisa memastikan. Saat ini sedang dikomunikasikan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. ”Masih didiskusikan dengan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo,” tuturnya.
Sementara, Pengprov Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Jateng cukup waswas dengan besaran bonus medali emas dari DKI Jakarta. Pasalnya, panjat tebing menjadi cabang olahraga unggulan kedua di provinsi untuk mendulang banyak medali setelah atletik.
Baca juga: Jorjoran Bonus Rp2 M bagi Peraih Medali Emas PON Cederai Sportivitas
Ketua FPTI Jateng Iik Suryati Azizah menyebut, bonus Rp2 miliar bagi peraih medali emas, terlalu besar dan itu sangat tidak wajar. Hal ini dikhawatirkan bisa mengganggu konsentrasi atlet, pada saat turun dalam pertandingan, khususnya ketika babak final berjumpa dengan DKI Jakarta.
''Bonus peraih medali emas Jateng kan Rp150 juta. Bisa saja atlet kami mengalah di urutan kedua, nanti diberi imbalan Rp500 juta. Sisa Rp1,5 miliar kan nominal cukup banyak,” kata Iik.
Menurut dia, secara teori hal ini memang tidak mungkin terjadi. Tapi dalam praktiknya, potensi kecurangan cukup terbuka lebar. Pihaknya berharap, pada PON XIX mendatang hal itu tidak terjadi, karena bisa dilihat langsung.
Meski, jika ada main mata sesama atlet, Pengprov FPTI tidak bisa serta merta menuduh atlet telah melakukan kecurangan. ”Susah kita untuk membuktikan,”ucapnya.
Iik mengatakan, di panjat tebing ini juga sulit dibedakan, misal dia saat memanjat melakukan foul lalu terpeleset, itu bisa saja terjadi tanpa disengaja, atau pun disengaja.
Jika untuk nomor boulder, ketika atlet mengaku dia sudah tidak kuat menahan tubuhnya di wall kan itu tidak bisa disalahkan. ”Jadi kerja sama antar atlet itu sendiri,” paparnya
''Saya sudah mendengar kabar itu. Bagi KONI, ini dikembalikan kepada atletnya masing-masing, namanya mental, ideologi dipertaruhkan,”kata Wakil Ketua KONI I Sukahar, Selasa (10/2).
Menurut Sukahar, sebagai pahlawan olahraga, seharusnya atlet tidak terjebak dengan guyuran bonus dari provinsi yang lain, sehingga tampil tidak profesional, bermain mata dengan atlet dari DKI Jakarta. ''Jateng sudah memikirkan hal itu. Mereka kan juga telah mendapatkan pembinaan dari provinsi ini,''ucapnya.
Baca juga: Niat Ahok Beri Bonus Rp2 M bagi Peraih Emas PON 2016 Rusak Pembinaan Olahraga
Terkait dengan besaran bonus peraih medali emas, perak dan perunggu dalam PON XIX/2016 di Jawa Barat, dia mengaku belum bisa memastikan. Saat ini sedang dikomunikasikan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. ”Masih didiskusikan dengan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo,” tuturnya.
Sementara, Pengprov Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Jateng cukup waswas dengan besaran bonus medali emas dari DKI Jakarta. Pasalnya, panjat tebing menjadi cabang olahraga unggulan kedua di provinsi untuk mendulang banyak medali setelah atletik.
Baca juga: Jorjoran Bonus Rp2 M bagi Peraih Medali Emas PON Cederai Sportivitas
Ketua FPTI Jateng Iik Suryati Azizah menyebut, bonus Rp2 miliar bagi peraih medali emas, terlalu besar dan itu sangat tidak wajar. Hal ini dikhawatirkan bisa mengganggu konsentrasi atlet, pada saat turun dalam pertandingan, khususnya ketika babak final berjumpa dengan DKI Jakarta.
''Bonus peraih medali emas Jateng kan Rp150 juta. Bisa saja atlet kami mengalah di urutan kedua, nanti diberi imbalan Rp500 juta. Sisa Rp1,5 miliar kan nominal cukup banyak,” kata Iik.
Menurut dia, secara teori hal ini memang tidak mungkin terjadi. Tapi dalam praktiknya, potensi kecurangan cukup terbuka lebar. Pihaknya berharap, pada PON XIX mendatang hal itu tidak terjadi, karena bisa dilihat langsung.
Meski, jika ada main mata sesama atlet, Pengprov FPTI tidak bisa serta merta menuduh atlet telah melakukan kecurangan. ”Susah kita untuk membuktikan,”ucapnya.
Iik mengatakan, di panjat tebing ini juga sulit dibedakan, misal dia saat memanjat melakukan foul lalu terpeleset, itu bisa saja terjadi tanpa disengaja, atau pun disengaja.
Jika untuk nomor boulder, ketika atlet mengaku dia sudah tidak kuat menahan tubuhnya di wall kan itu tidak bisa disalahkan. ”Jadi kerja sama antar atlet itu sendiri,” paparnya
(aww)