Rafael Nadal, Si Pemalu yang Berubah Jadi Gladiator di Lapangan
A
A
A
PETENIS nomor satu dunia, Rafael Nadal, menempuh perjalanan panjang untuk menjadi yang terbaik. Apa saja yang dia korbankan untuk meraih mahkota raja tenis dunia itu?
Suatu saat John McEnroe, legenda petenis dunia, ditanya media La Nacion tentang sosok yang dia kagumi di dunia tenis. Menurutnya, ada tiga petenis yang saat ini menyita perhatiannya. Ketiganya adalah Roger Federer, Novak Djokovic, dan Rafael Nadal.
"Federer itu jenius, sangat jenius. Djokovic itu seperti robot, dia selalu mengirim bola kembali ke kita sehingga kita mati langkah. Nadal? Nadal itu seorang gladiator. Agresi dan tenaganya sangat luar biasa. Dia gladiator pada era modern," tutur legenda tenis Amerika Serikat itu.
Rafael Nadal memang tidak lahir di Italia. Petenis berumur 31 tahun itu lahir di Manacor, Mallorca, Spanyol. Secara geografis, Manacor justru dekat dengan pantai, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Biasanya masyarakat yang tinggal di pinggir pantai memiliki budaya easy going yang tinggi. Dalam kesehariannya, Rafael Nadal memang begitu cinta dengan pantai dan laut. Dia termasuk petenis yang sangat pemalu. Namun, semuanya berubah 180 derajat ketika dia berlaga di lapangan tenis.
"Saat bermain tenis, kamu berada di pertempuran di mana kamu harus menutupi seluruh kekuranganmu. Kamu harus melindungi dirimu dengan zirah. Jadikan dirimu pejuang yang tidak akan berdarah," tulis Rafael Nadal dalam buku biografi berjudul Rafa My Story.
Carlos Moya, petenis Spanyol yang juga datang dari Mallorca, mengatakan, Nadal sebagai pribadi dan Nadal sebagai petenis merupakan sosok yang berbeda. "Dia sangat sungkan menatap mata saya saat berbicara. Tangannya juga sering gemetar karena kurang percaya diri," ucap Carlos Moya. "Namun ketika bermain di lapangan, dia menjadi seorang pejuang. Saat itu saya langsung tahu dia adalah sosok yang spesial," sambungnya.
Matts Wilander, petenis legendaris yang saat ini menjadi presenter sebuah acara tenis di televisi, punya cerita unik akan kerendahan hati Rafa. Suatu saat Rafa datang ke acaranya dan tanpa disangka begitu sampai di lokasi acara, Rafa menyalami semua orang yang ada di ruangan, mulai make up artist hingga penata lampu.
"Terakhir, dia menyalami saya dan mengatakan, "Rafa senang sekali bertemu kamu." Dia sangat rendah hati dan malah menjadi seperti orang kuno," ungkap Willander.
Seluruh kesan itu langsung berubah ketika Rafa berada di lapangan tenis. Dia yang semula terlihat lemah lembut berubah menjadi sosok yang mengerikan. Penuh agresi dan siap mematikan semua lawan di hadapannya. Di lapangan tenis, Rafa adalah seorang gladiator.
Bukan tanpa sebab Rafa memilih menguras tenaga saat berlaga. Dia mengaku bukanlah orang yang penuh talenta. Bagi Rafa, kerja keras adalah segalanya. Menurut dia, orang yang berbakat akan kalah dengan orang yang bekerja keras.
Namun, kerja keras juga yang kerap menjadi batu sandungan. John McEnroe bahkan jauh-jauh hari sudah meramalkan bahwa cedera akan menghantui Rafa sepanjang kariernya. "Dia sangat bekerja keras seperti orang gila. Wajar jika cedera selalu membekapnya," kata John McEnroe.
Cedera memang menjadi hantu buat Nadal yang sempat membuatnya rehat panjang. Cedera yang paling diingat Rafa adalah peristiwa pada 2009. Bukan karena cedera fisik, melainkan cedera hati akibat perpisahan orang tua. "Tiba-tiba saja bayangan keluarga bahagia yang saya miliki berantakan. Saya sedih akan ayah saya, begitu juga dengan ibu saya. Kami semua menderita," tulis Rafa di buku biografinya.
Sang Gladiator akhirnya terluka dan mimpi buruk cedera lutut mengemuka. Padahal, saat itu Rafa tengah berada di posisi nomor satu dunia. Butuh waktu lama bagi Rafa menyembuhkan luka-luka tersebut. Dia harus jatuh-bangun menata hati dan fisiknya kembali.
Ajaibnya, sang Gladiator kembali berhasil duduk di takhta nomor satu dunia pada 2010, meskipun saat itu cedera yang membekap lututnya terus-menerus menghantui setiap pertandingan yang dia jalani. Berkali-kali cedera tersebut membuatnya terlempar dari posisi nomor satu. Berkali-kali juga dia kembali merebutnya dengan susah payah.
Termasuk tahun ini ketika dia kembali menjadi juara nomor satu. Dengan susah payah, Rafa berhasil berada di puncak petenis pria di tengah usia yang tidak muda lagi. Dua gelar Grand Slam berhasil dia raih, yakni Australia Terbuka dan Paris Terbuka. Sayang, ambisinya mempertahankan posisi puncak dunia sampai akhir tahun ini mulai terancam.
Lewat pengumuman resmi, Rafa mengatakan tidak akan tampil di Basel karena mengalami cedera lutut. Cedera ini dialaminya saat tampil di final Shanghai Masters ketika dikalahkan Roger Federer.
"Saya sedih mengumumkan menarik diri dari turnamen di Basel. Keputusan ini saya ambil setelah mendarat di Spanyol dan berkonsultasi dengan dokter sepulang dari Shanghai," ujar Nadal dalam akun pribadinya di Facebook dilansir Reuters, Rabu (18/10).
"Saya mengalami masalah dengan lutut dan itu sudah dirasakan di Shanghai. Inilah yang memaksa saya untuk meluangkan waktu seperti saran dokter saya," kata dia.
Rafa sadar bahwa dia akan kembali kehilangan takhta. Tetapi seperti dulu, sang Gladiator akan kembali bertarung merebut kembali mahkotanya.
Suatu saat John McEnroe, legenda petenis dunia, ditanya media La Nacion tentang sosok yang dia kagumi di dunia tenis. Menurutnya, ada tiga petenis yang saat ini menyita perhatiannya. Ketiganya adalah Roger Federer, Novak Djokovic, dan Rafael Nadal.
"Federer itu jenius, sangat jenius. Djokovic itu seperti robot, dia selalu mengirim bola kembali ke kita sehingga kita mati langkah. Nadal? Nadal itu seorang gladiator. Agresi dan tenaganya sangat luar biasa. Dia gladiator pada era modern," tutur legenda tenis Amerika Serikat itu.
Rafael Nadal memang tidak lahir di Italia. Petenis berumur 31 tahun itu lahir di Manacor, Mallorca, Spanyol. Secara geografis, Manacor justru dekat dengan pantai, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Biasanya masyarakat yang tinggal di pinggir pantai memiliki budaya easy going yang tinggi. Dalam kesehariannya, Rafael Nadal memang begitu cinta dengan pantai dan laut. Dia termasuk petenis yang sangat pemalu. Namun, semuanya berubah 180 derajat ketika dia berlaga di lapangan tenis.
"Saat bermain tenis, kamu berada di pertempuran di mana kamu harus menutupi seluruh kekuranganmu. Kamu harus melindungi dirimu dengan zirah. Jadikan dirimu pejuang yang tidak akan berdarah," tulis Rafael Nadal dalam buku biografi berjudul Rafa My Story.
Carlos Moya, petenis Spanyol yang juga datang dari Mallorca, mengatakan, Nadal sebagai pribadi dan Nadal sebagai petenis merupakan sosok yang berbeda. "Dia sangat sungkan menatap mata saya saat berbicara. Tangannya juga sering gemetar karena kurang percaya diri," ucap Carlos Moya. "Namun ketika bermain di lapangan, dia menjadi seorang pejuang. Saat itu saya langsung tahu dia adalah sosok yang spesial," sambungnya.
Matts Wilander, petenis legendaris yang saat ini menjadi presenter sebuah acara tenis di televisi, punya cerita unik akan kerendahan hati Rafa. Suatu saat Rafa datang ke acaranya dan tanpa disangka begitu sampai di lokasi acara, Rafa menyalami semua orang yang ada di ruangan, mulai make up artist hingga penata lampu.
"Terakhir, dia menyalami saya dan mengatakan, "Rafa senang sekali bertemu kamu." Dia sangat rendah hati dan malah menjadi seperti orang kuno," ungkap Willander.
Seluruh kesan itu langsung berubah ketika Rafa berada di lapangan tenis. Dia yang semula terlihat lemah lembut berubah menjadi sosok yang mengerikan. Penuh agresi dan siap mematikan semua lawan di hadapannya. Di lapangan tenis, Rafa adalah seorang gladiator.
Bukan tanpa sebab Rafa memilih menguras tenaga saat berlaga. Dia mengaku bukanlah orang yang penuh talenta. Bagi Rafa, kerja keras adalah segalanya. Menurut dia, orang yang berbakat akan kalah dengan orang yang bekerja keras.
Namun, kerja keras juga yang kerap menjadi batu sandungan. John McEnroe bahkan jauh-jauh hari sudah meramalkan bahwa cedera akan menghantui Rafa sepanjang kariernya. "Dia sangat bekerja keras seperti orang gila. Wajar jika cedera selalu membekapnya," kata John McEnroe.
Cedera memang menjadi hantu buat Nadal yang sempat membuatnya rehat panjang. Cedera yang paling diingat Rafa adalah peristiwa pada 2009. Bukan karena cedera fisik, melainkan cedera hati akibat perpisahan orang tua. "Tiba-tiba saja bayangan keluarga bahagia yang saya miliki berantakan. Saya sedih akan ayah saya, begitu juga dengan ibu saya. Kami semua menderita," tulis Rafa di buku biografinya.
Sang Gladiator akhirnya terluka dan mimpi buruk cedera lutut mengemuka. Padahal, saat itu Rafa tengah berada di posisi nomor satu dunia. Butuh waktu lama bagi Rafa menyembuhkan luka-luka tersebut. Dia harus jatuh-bangun menata hati dan fisiknya kembali.
Ajaibnya, sang Gladiator kembali berhasil duduk di takhta nomor satu dunia pada 2010, meskipun saat itu cedera yang membekap lututnya terus-menerus menghantui setiap pertandingan yang dia jalani. Berkali-kali cedera tersebut membuatnya terlempar dari posisi nomor satu. Berkali-kali juga dia kembali merebutnya dengan susah payah.
Termasuk tahun ini ketika dia kembali menjadi juara nomor satu. Dengan susah payah, Rafa berhasil berada di puncak petenis pria di tengah usia yang tidak muda lagi. Dua gelar Grand Slam berhasil dia raih, yakni Australia Terbuka dan Paris Terbuka. Sayang, ambisinya mempertahankan posisi puncak dunia sampai akhir tahun ini mulai terancam.
Lewat pengumuman resmi, Rafa mengatakan tidak akan tampil di Basel karena mengalami cedera lutut. Cedera ini dialaminya saat tampil di final Shanghai Masters ketika dikalahkan Roger Federer.
"Saya sedih mengumumkan menarik diri dari turnamen di Basel. Keputusan ini saya ambil setelah mendarat di Spanyol dan berkonsultasi dengan dokter sepulang dari Shanghai," ujar Nadal dalam akun pribadinya di Facebook dilansir Reuters, Rabu (18/10).
"Saya mengalami masalah dengan lutut dan itu sudah dirasakan di Shanghai. Inilah yang memaksa saya untuk meluangkan waktu seperti saran dokter saya," kata dia.
Rafa sadar bahwa dia akan kembali kehilangan takhta. Tetapi seperti dulu, sang Gladiator akan kembali bertarung merebut kembali mahkotanya.
(amm)