Ada Anderlecht di Balik Kesuksesan Skuad The Red Devils

Selasa, 10 Juli 2018 - 10:20 WIB
Ada Anderlecht di Balik...
Ada Anderlecht di Balik Kesuksesan Skuad The Red Devils
A A A
BRUSSELS - Roberto Martinez boleh saja dianggap paling berjasa karena berkat tangan dinginnya, Belgia mampu menembus babak semifinal Piala Dunia 2018.

Namun, tidak banyak yang tahu jika kematangan skuad The Red Devils tidak lepas dari kontribusi klub elit lokal Anderlecht. Delapan dari 23 punggawa Belgia merupakan jebolan akademi klub berbasis di Brussel tersebut. Romelu Lukaku, Vincent Kompany, Leander Dendoncker, Youri Tiele mans, Dries Mertens, Adnan Janu zaj, Michy Batshuayi, dan Marouane Fellaini merupakan pemain yang menimba ilmu di Aka de mi Anderlecht. Gabungan pemain ini sudah menyumbangkan sembilan gol bagi Belgia atau lebih banyak dari jumlah gol Brasil yang mereka taklukkan pada babak perempat final.

Hal ini tidak lepas dari tangan dingin tim pelatih yang mengendus bakat generasi emas Belgia itu sejak usia dini. Ketajaman mereka di depan gawang tidak lepas dari slogan lawan Aka demi Anderlecht. Filosofi pelatihan “menangkan bola dan jaga, menyerang, kreatif, penyelesaian, dan menang” menjadi doktrin di semua level usia.

“Sangat penting untuk beradaptasi dengan sepak bola modern. Kami dulu menekankan 70% penguasaan bola tapi apa gunanya jika tidak menang. Sekarang kami bekerja sebaliknya dan bermain sepak bola efisien dengan menekankan pada penyerangan. Penyelesaian akhir menjadi sangat penting dalam setiap pertandingan,” ujar Direktur Akademi Anderlecht Jean Kindermans, dilansir theguardian.

Sejak menimba ilmu di akademi, kedelapan penggawa The Red Devils sudah dibiasakan dengan formasi menyerang 3-4-3 dan bertransformasi menjadi 4-3-3 untuk kelompok usia di bawah 15 tahun. Pada masa ini pemain muda masih dalam masa pembentukan dengan menerapkan keseim bangan permainan. Mereka tidak hanya dididik untuk memenangkan pertandingan namun juga menerima kekalahan.

Hal ini sangat penting untuk membentuk pe main komplet dengan kemampuan lengkap. Pada level usia 17 tahun, barulah pemain akademi dituntut bermain dengan gaya Anderlecht yang menggunakan pakem 3-4-3. Setiap pemain secara reguler berganti posisi untuk membentuk pemain yang bisa bermain di sejumlah pos baik sebagai striker, gelandang, maupun winger .

“Mereka patuh mendengarkan instruksi pelatih dan bekerja keras selama di akademi. Siapa yang menyangka jika mereka sudah mencapai level tinggi dan membuat capaian sejauh ini,” ujarnya merujuk pada performa Belgia pada Piala Dunia 2018. Kindermans menyatakan, kebanggaannya atas kemampuan alami Akademi Anderlecht menemukan bakat lokal dan hingga men jadi pemain papan atas dunia.

Dia me maparkan, selayaknya akademi sepak bola, pembinaan pemain dilakukan secara berjenjang mulai usia di bawah 11 tahun. Tidak hanya itu, masyarakat Belgia yang sangat beragam juga menjadi salah satu nilai tambah pemain jebolan Akademi Anderlecht.

Perbedaan agama, budaya, bahasa, dan kebangsaan membuat penanganan setiap anak menjadi berbeda. Hal ini juga memaksa pemain mampu beradaptasi dengan beragam kepribadian untuk membentuk sebuah tim yang kuat. Hal ini juga tidak lepas dari penanganan pelatih yang merangkap sebagai psikolog. Pelatih diajarkan seni menerjemahkan ide-ide kepada anakanak agar mereka mampu mengaplikasikan strategi di atas lapangan.

“Anderlecht adalah jalanan. Multikultural menjadi keuntungan bagi kami. Contohnya Vincent Kompany yang beribu orang Belgia dan ayah keturunan Afrika. Tapi, itu membuat pemain kami lahir dengan kemampuan yang komplet,” katanya.

Kindermans menambahkan, ratusan pemain muda yang kini masih berjuang dengan latihan rutin setiap hari dimotivasi untuk bekerja keras agar bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Kata-kata motivasi bahkan dipasang pada dinding akademi untuk mengingatkan pentingnya berlatih dengan kerja. “Hard work beats talent! “ (kerja keras mengalahkan bakat!).
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1761 seconds (0.1#10.140)