Juara Piala Dunia Belum Menguatkan Keragaman Sepak Bola Prancis
A
A
A
SAAT Prancis berhasil menjadi juara Piala Dunia 2018, dunia langsung bergetar. Tim nasional Prancis yang diisi anak-anak muda dengan latar belakang budaya dan ras yang berbeda itu berhasil membuka mata banyak orang akan keragaman.
Berbagai tindakan diskriminatif yang merebak di Prancis beberapa waktu itu seolah terkubur dalam-dalam. Kehadiran Kylian Mbappe, Paul Pogba, N’Golo Kante, hingga Blaise Matuidi di Istana Negara seolah menjadi tanda bahwa keberagaman berhasil menang di Prancis.
Mimpi masyarakat Prancis akan keberagaman ternyata hanya sebuah mimpi basah. Seusai pesta, Prancis kembali dihadapkan pada realita yang sama yakni tindakan diskriminatif tanpa jeda. Siapa yang menyangka, saat Kylian Mbappe berhasil membawa Paris Saint Germain (PSG) mengalahkan Manchester United 0-2 di kandangnya Manchester United, dia justru harus mendengar adanya tindakan diskriminatif yang dialamatkan kepadanya.
Sebuah grafiti yang menghujat Mbappe terpampang besar di sebuah kereta bawah tanah, lengkap dengan simbol yang mengisyaratkan Mbappe sebagai target. Lilian Thuram, pesepak bola legendaris Prancis yang saat ini juga aktif di kegiatan sosial, mengatakan, keberhasilan tim nasional Prancis di Piala Dunia 2018 seolah bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.
Masyarakat Prancis begitu bangga dengan tim nasional yang anggotanya penuh warna dan pada saat bersamaan menolak kehadiran mereka di tengah masyarakat. “Sangat sulit mengangkat isu rasisme ini di Prancis karena di sini kita seperti buta warna,” ujar Lilian Thuram.
Dia mengatakan, di tingkat profesional, Prancis memang berhasil mengangkat beban keragaman ini dari para pundak para pemain sepak bola. Masalahnya di akar rumput, di mana liga-liga sepak bola kecil berada, masalah itu justru semakin memuncak. Dia mencontohkan sebulan sebelum Piala Dunia 2018 digelar, Kerfala Sissoko, pesepak bola Prancis liga kecil, babak belur dipukul saat pertandingan berjalan. Dia dipukul habis-habisan oleh pemain lawan dan suporternya.
Belum cukup, setelah babak belur, otoritas klub memutuskan menskors Kerfala Sissoko karena dianggap melakukan provokasi yang sebenarnya tidak dia lakukan. “Saya benar-benar muak sampai membenci sepak bola,” ujarnya. Setelah Kerfala Sissoko, tiga pesepak bola Furiani-Agliani dipukuli oleh orang tidak dikenal seusai berlatih. Mereka bahkan perlu diselamatkan petugas pemadam kebakaran karena terlalu banyak orang yang memukuli.
Licra, organisasi nirlaba yang fokus pada rasisme, mencatat, sepanjang 2018 terdapat 74 kasus rasisme yang terjadi di dunia olahraga amatir Prancis. Mereka bahkan mengklaim angka ini bisa lebih besar saking seringnya terjadi dan keengganan korban membuat laporan.
“Di level profesional, masalah rasisme memang terkendali karena adanya sorotan besar. Semuanya bisa dengan mudah terlihat. Di level amatir, semuanya menjadi lebih sulit diungkap karena hal sebaliknya,” ujar William Gasparini, profesor sosiologi dari University of Strasbourg. Peristiwa di level bawah ini, menurut William, justru cermin nyata apa yang terjadi di lapisan bawah masyarakat Prancis.
Diskriminasi dan antipati sosial kerap diarahkan kepada para imigran yang umumnya kulit berwarna. Lilian Thuram yang saat ini mendirikan Lilian Thuram Foundation yang fokus pada diskriminasi mengatakan bahwa sikap diskriminatif terjadi karena alam bawah sadar masyarakat Prancis.
Dia mencontohkan kurangnya pengakuan terhadap pesepak bola kulit berwarna akan keberhasilan tim nasional Prancis. “Saat negara lain mengapresiasi determinasi anak-anak imigran di tim nasional Prancis, Prancis malah mengatakan sebaliknya dan mengatakan mereka Prancis,” ucapnya.
Tidak mengherankan jika Lilian Thuram mengatakan, menghapus diskriminasi dari Prancis tidak hanya bisa dilakukan dengan menunggu momen-momen indah seperti memenangi Piala Dunia. Butuh perjalanan panjang dan usaha keras agar mimpi ini bukanlah mimpi basah semata.
Berbagai tindakan diskriminatif yang merebak di Prancis beberapa waktu itu seolah terkubur dalam-dalam. Kehadiran Kylian Mbappe, Paul Pogba, N’Golo Kante, hingga Blaise Matuidi di Istana Negara seolah menjadi tanda bahwa keberagaman berhasil menang di Prancis.
Mimpi masyarakat Prancis akan keberagaman ternyata hanya sebuah mimpi basah. Seusai pesta, Prancis kembali dihadapkan pada realita yang sama yakni tindakan diskriminatif tanpa jeda. Siapa yang menyangka, saat Kylian Mbappe berhasil membawa Paris Saint Germain (PSG) mengalahkan Manchester United 0-2 di kandangnya Manchester United, dia justru harus mendengar adanya tindakan diskriminatif yang dialamatkan kepadanya.
Sebuah grafiti yang menghujat Mbappe terpampang besar di sebuah kereta bawah tanah, lengkap dengan simbol yang mengisyaratkan Mbappe sebagai target. Lilian Thuram, pesepak bola legendaris Prancis yang saat ini juga aktif di kegiatan sosial, mengatakan, keberhasilan tim nasional Prancis di Piala Dunia 2018 seolah bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.
Masyarakat Prancis begitu bangga dengan tim nasional yang anggotanya penuh warna dan pada saat bersamaan menolak kehadiran mereka di tengah masyarakat. “Sangat sulit mengangkat isu rasisme ini di Prancis karena di sini kita seperti buta warna,” ujar Lilian Thuram.
Dia mengatakan, di tingkat profesional, Prancis memang berhasil mengangkat beban keragaman ini dari para pundak para pemain sepak bola. Masalahnya di akar rumput, di mana liga-liga sepak bola kecil berada, masalah itu justru semakin memuncak. Dia mencontohkan sebulan sebelum Piala Dunia 2018 digelar, Kerfala Sissoko, pesepak bola Prancis liga kecil, babak belur dipukul saat pertandingan berjalan. Dia dipukul habis-habisan oleh pemain lawan dan suporternya.
Belum cukup, setelah babak belur, otoritas klub memutuskan menskors Kerfala Sissoko karena dianggap melakukan provokasi yang sebenarnya tidak dia lakukan. “Saya benar-benar muak sampai membenci sepak bola,” ujarnya. Setelah Kerfala Sissoko, tiga pesepak bola Furiani-Agliani dipukuli oleh orang tidak dikenal seusai berlatih. Mereka bahkan perlu diselamatkan petugas pemadam kebakaran karena terlalu banyak orang yang memukuli.
Licra, organisasi nirlaba yang fokus pada rasisme, mencatat, sepanjang 2018 terdapat 74 kasus rasisme yang terjadi di dunia olahraga amatir Prancis. Mereka bahkan mengklaim angka ini bisa lebih besar saking seringnya terjadi dan keengganan korban membuat laporan.
“Di level profesional, masalah rasisme memang terkendali karena adanya sorotan besar. Semuanya bisa dengan mudah terlihat. Di level amatir, semuanya menjadi lebih sulit diungkap karena hal sebaliknya,” ujar William Gasparini, profesor sosiologi dari University of Strasbourg. Peristiwa di level bawah ini, menurut William, justru cermin nyata apa yang terjadi di lapisan bawah masyarakat Prancis.
Diskriminasi dan antipati sosial kerap diarahkan kepada para imigran yang umumnya kulit berwarna. Lilian Thuram yang saat ini mendirikan Lilian Thuram Foundation yang fokus pada diskriminasi mengatakan bahwa sikap diskriminatif terjadi karena alam bawah sadar masyarakat Prancis.
Dia mencontohkan kurangnya pengakuan terhadap pesepak bola kulit berwarna akan keberhasilan tim nasional Prancis. “Saat negara lain mengapresiasi determinasi anak-anak imigran di tim nasional Prancis, Prancis malah mengatakan sebaliknya dan mengatakan mereka Prancis,” ucapnya.
Tidak mengherankan jika Lilian Thuram mengatakan, menghapus diskriminasi dari Prancis tidak hanya bisa dilakukan dengan menunggu momen-momen indah seperti memenangi Piala Dunia. Butuh perjalanan panjang dan usaha keras agar mimpi ini bukanlah mimpi basah semata.
(don)