Sepak Bola Wanita, Dunia yang Tidak Berlimpah Uang

Kamis, 28 Februari 2019 - 09:35 WIB
Sepak Bola Wanita, Dunia...
Sepak Bola Wanita, Dunia yang Tidak Berlimpah Uang
A A A
SAMA-SAMA meraih Ballon d'Or tahun 2018, Luca Modric dan Ada Hegerberg memiliki perbedaan yang sangat kontras. Jika tiap minggunya Luca Modric menerima gaji sebesar USD237.690 atau setara Rp3,2 miliar dari Real Madrid, sebaliknya Ada Hederberg hanya menerima gaji sebesar 300.000 poundsterling atau setara Rp5,4 miliar per tahun.

Padahal, Ada Hegerberg diyakini sebagai satu-satunya pesepak bola wanita yang paling mahal dibayar Lyon FC. Bayangkan bagaimana nasib pesepak bola wanita lainnya? Ketimpangan ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada dunia sepak bola wanita. Hampir semua bidang olahraga lainnya seakan mengenyampingkan peran atlet perempuan.

“Memang sama sekali tidak ada uang di sana,” ujar Ada Hegerberg. Di Inggris, sebagai tanah kelahiran sepak bola, fenomena yang sama juga terjadi. Dalam sebuah survei yang dikutip The Guardian, rata-rata pesepak bola wanita Inggris yang ada di Womenís Super League hanya menerima gaji sebesar 18.000 poundsterling setahun atau sekitar Rp325 juta.

Akibat gaji yang terbilang rendah untuk ukuran olahraga profesional itu, banyak pesepak bola wanita Inggris yang memutuskan untuk berhenti bermain bola. Tidak hanya gaji, pelayanan bahkan kerap menjadi pembeda antara pesepak bola wanita dan pesepak bola pria.

Phil Neville, pelatih tim nasional perempuan Inggris, sempat marah besar ketika mereka harus pergi ke Amerika Serikat dengan pesawat kelas ekonomi. Kontras dengan tim nasional pria Inggris yang datang ke Piala Dunia 2018 di Rusia dengan pesawat kelas bisnis. “Kita harus memberikan kesempatan yang sama kepada mereka agar bisa berprestasi dengan baik. Pembedaan ini tidak akan menguntungkan,” katanya.

Pembedaan perlakuan ini ironis mengingat saat ini di dunia, perhatian terhadap sepak bola wanita mulai mengalami perkembangan. Majalah France Football, yang memberikan penghargaan Ballon d'Or kepada pesepak bola terbaik di dunia, pada tahun lalu bahkan memberikan secara khusus Ballon d'Or kepada pesepak bola wanita terbaik di dunia karena melihat adanya perubahan itu.

Dalam catatan mereka, pada perhelatan Piala Dunia Wanita 2015 di Kanada, jumlah penonton pertandingan itu mencapai 760 juta orang. “Ini artinya sepak bola wanita tengah menanjak dan semakin populer. Olahraga ini harus mendapatkan penghargaan yang sama seperti halnya sepak bola pria,” ujar Pascal Ferre, editor majalah France Football.

Masalahnya hanya terjadi di ajang Piala Dunia. Selebihnya di tingkat liga sepak bola wanita benarbenar harus merangkak dari bawah. Hal ini semakin diperparah karena pertimbangan ekonomis sangat berperan besar di dunia sepak bola. Segala hal yang terjadi di dunia tersebut memiliki hitungan bisnis yang sangat besar. Dan inilah yang sulit dicapai di sepak bola wanita.

Sponsor enggan berinvestasi, begitu juga pemilik klub yang terlihat sungkan untuk melatih atau menemukan bakat-bakat potensial pesepak bola wanita. Masalah dari sepak bola wanita memang ada pada akarnya, di mana masyarakat masih memandang cabang olahraga ini adalah eksklusif milik kaum adam.

Di dunia ini stereotipe wanita sebagai kelompok yang lemah begitu kuat. Jadi, jangan kaget ketika dunia ini malah bersikap defensif ketika wacana wasit perempuan mengemuka, apalagi membayangkan gaji Ada Hederberg bakal setara dengan Luca Modric meski sama-sama meraih Ballon d'Or.

Sepak bola wanita memang patut berkaca pada keberhasilan olahraga tenis yang sangat berhasil menyejajarkan tenis wanita dan tenis pria. Para sponsor berani berinvestasi pada petenis wanita karena melihat ada pasar yang sangat besar di sana. Sponsor juga berani berinvestasi memberikan hadiah uang yang sangat besar karena memang ada potensi bisnis yang menguntungkan di dunia tersebut.

Ada Hederberg mengatakan dunia sepak bola wanita ini memang tidak ada uangnya. Benarkah? Mungkin tidak ada salahnya untuk dicoba karena memang pesepak bola wanita layak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2017 seconds (0.1#10.140)