Krisis finansial klub coreng citra IPL
A
A
A
Sindonews.com - Indonesian Premier League (IPL) baru saja rampung namun berbagai persoalan menghiasi selama pelaksanaan IPL musim 2011/2012 berlangsung. Kompetsisi yang digelar selama enam bulan dan berada di bawah otoritas resmi PSSI ini ternyata masih jauh dari cerminan kompetisi modern.
Beragam persoalan justru muncul lebih kompleks dibanding sebelumnya. Paling kentara adalah krisis massal yang melanda klub anggota IPL, terutama yang sahamnya dikuasai Konsorsium Liga Primer Indonesia (LPI). Hanya beberapa klub saja yang tidak mengalami krisis finansial, dan mereka adalah tim dengan investor atau dengan basis supporter besar, seperti Arema FC, Semen Padang, hingga Persebaya Surabaya.
Krisis parah melanda hampir semua klub yang semula rencananya didanai Konsorsium LPI. Krisis finansial ini menjadi isu sentral yang memperburuk citra IPL. Walau urusan keuangan klub adalah tanggungjawab Konsorsium LPI, tapi tidak salah jika nama IPL yang kemudian terkena getahnya.
IPL berada satu payung dengan Konsorsium LPI dan publik sudah sangat paham itu. Keputusan konsorsium memborong saham klub-klub anggota IPL berbuah blunder dengan macetnya pendanaan. Ini yang membuat IPL turun gengsi dan semakin mendapat sinisme publik.
Format pengelolaan klub modern berbasis profit oriented yang digembar-gemborkan beberapa waktu lalu, ternyata nol besar. Sangat ironis jika mengingat keberadaan LPI alias cikal bakal IPL pada 2010 lalu, adalah sebagai solusi kemandirian klub. Nyatanya ketika LPI dan kemudian IPL pegang kendali, kerusakan justru semakin parah. Konsep itu telah gagal dijalankan.
Tak hanya terkait finansial, sistem di kompetisi juga hancur lebur. PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai operator liga habis wibawa karena banyaknya kontroversi di tubuh kompetisi. Urusan wasit, aturan, hingga keputusan yang tidak jelas menjadi pemicunya.
“Kalau bicara PT LPIS, entah berapa kekecewaan yang harus kami utarakan. Bahkan mungkin kami bisa menyatakan bermusuhan dengan PT LPIS. Kami terlalu banyak dirugikan. Sebagai operator liga, mereka sangat buruk,” ucap Media Officer Arema FC Noor Ramadhan, Minggu (22/7/2012).
Sebelumnya buruknya penyelenggaraan perhelatan perdana IPL di bawah payung PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin diakui memang berjalan buruk dan membutuhkan lebih banyak kritik. “Saya mencermati penyelenggaraan liga masih butuh kritik dan perbaikan, baik dalam penyelenggaraan pertandingan, koordinasi dengan pihak aparat terkait, klub, sponsor, dan televisi. Memang, ada beberapa pertandingan yang WO,dan pastinya ada kekecewaan dari pihak sponsor dan juga televisi,” ungkap CEO PT LPIS Widjajanto.
Beragam persoalan justru muncul lebih kompleks dibanding sebelumnya. Paling kentara adalah krisis massal yang melanda klub anggota IPL, terutama yang sahamnya dikuasai Konsorsium Liga Primer Indonesia (LPI). Hanya beberapa klub saja yang tidak mengalami krisis finansial, dan mereka adalah tim dengan investor atau dengan basis supporter besar, seperti Arema FC, Semen Padang, hingga Persebaya Surabaya.
Krisis parah melanda hampir semua klub yang semula rencananya didanai Konsorsium LPI. Krisis finansial ini menjadi isu sentral yang memperburuk citra IPL. Walau urusan keuangan klub adalah tanggungjawab Konsorsium LPI, tapi tidak salah jika nama IPL yang kemudian terkena getahnya.
IPL berada satu payung dengan Konsorsium LPI dan publik sudah sangat paham itu. Keputusan konsorsium memborong saham klub-klub anggota IPL berbuah blunder dengan macetnya pendanaan. Ini yang membuat IPL turun gengsi dan semakin mendapat sinisme publik.
Format pengelolaan klub modern berbasis profit oriented yang digembar-gemborkan beberapa waktu lalu, ternyata nol besar. Sangat ironis jika mengingat keberadaan LPI alias cikal bakal IPL pada 2010 lalu, adalah sebagai solusi kemandirian klub. Nyatanya ketika LPI dan kemudian IPL pegang kendali, kerusakan justru semakin parah. Konsep itu telah gagal dijalankan.
Tak hanya terkait finansial, sistem di kompetisi juga hancur lebur. PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai operator liga habis wibawa karena banyaknya kontroversi di tubuh kompetisi. Urusan wasit, aturan, hingga keputusan yang tidak jelas menjadi pemicunya.
“Kalau bicara PT LPIS, entah berapa kekecewaan yang harus kami utarakan. Bahkan mungkin kami bisa menyatakan bermusuhan dengan PT LPIS. Kami terlalu banyak dirugikan. Sebagai operator liga, mereka sangat buruk,” ucap Media Officer Arema FC Noor Ramadhan, Minggu (22/7/2012).
Sebelumnya buruknya penyelenggaraan perhelatan perdana IPL di bawah payung PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin diakui memang berjalan buruk dan membutuhkan lebih banyak kritik. “Saya mencermati penyelenggaraan liga masih butuh kritik dan perbaikan, baik dalam penyelenggaraan pertandingan, koordinasi dengan pihak aparat terkait, klub, sponsor, dan televisi. Memang, ada beberapa pertandingan yang WO,dan pastinya ada kekecewaan dari pihak sponsor dan juga televisi,” ungkap CEO PT LPIS Widjajanto.
(akr)