Tolak mutasi Irene, Jabar salahkan Jatim
A
A
A
Sindonews.com - Kasus mutasi pecatur Irene Kharisma Sukandar terus berlanjut. Pengurus Daerah (Pengda) Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi) Jawa Barat menganggap Memorandum Of Understanding (MoU) Pecatur berprestasi, GMW Irene Kharisma dengan KONI Jatim adalah sebuah kesalahan besar.
Pecatur tersebut hengkang secara sepihak untuk memperkuat Jatim di Perehelatan multi even Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 di Jabar. Telah melanggar Surat Keputusan Nomor 56 Tahun 2010 yang dikeluarkan KONI Pusat mengenai proses mutasi atlet.
''Yang pasti dengan adanya MoU itu pihak Irene dan KONI Jatim ada pada posisi yang salah. Kita sudah tolak dengan tegas secara resmi, bahwa pengunduran diri Irene tidak sesuai dengan prosedur mutasi atlet,” tegas Sekretaris Umum (Sekum) Percasi Jabar, Dicky Irfan Rabu (6/3).
Dalam perjanjian Irene dan pihak Jatim, pasal 3 dan 4 tercantum Irene sebagai pihak kedua menerima uang pembinaan Rp 1 milyar dari KONI Jatim. Uang tersebut dibagi 2 termin, dimana Rp 200 juta sebagai uang muka dan setelah Irenee mengundurkan diri, sedangkan Rp 800 juta setelah surat persetujuan mutasi atlet ke Jatim dari PB Percasi.
Selain itu Irenee juga menerima uang dari Rp 4 juta/bulan. Dicky menilai olahraga ini merupakan olahrgaa amatir, sehingga pihaknya menolak dengan tegas mutasi Irene.
''Seperti Pengda, kalau ada mutasi dari kota/kabupaten ke kota/kabupaten lain antar daerah Se-Jabar, itu kesepakatan daerah tersebut yang memiliki atlet. Kita hanya menjembatani saja. Nanti ada surat dari Percasi kota/Kabupaten bahwa atletnya misalnya setuju pindak ke kota/kabupaten lain. Baru di catatkan di Pengda. Pada perinsipnya mekanisme kerja di PB juga sama. Sedangkan untuk Irene tidak seperti itu,”ungkapnya.
Ia mengaku, pihaknya terus berkoordinasi dengan KONI Jabar sebagai induk organisasi. Menurutnya langkah yang diambil KONI Jabar merupakan bentuk ketegasn hukum yang tepat.
''Saya kira KONI Jatim juga sudah mengetahui aturan itu, tapi ya kenyataannya seperti ini. Kami sangat menyayangkan itu,”ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bidang Psikologi KONI Jabar, Suhana menuturkan, hal tersebut adalah merupakan proses pembelajaran yang salah dana akan berimbas negative bagi pembinaan olahraga di Indonesia. Untuk itu, pihak-pihak terkait wajib memberikan hukuman tegas supaya tidak ada proses peniruan.
''Ini adalah proses belajar, di mana ada pemberian hadiah dan hukuman. Sedangkan untuk tindakan yang salah haruslah ada hukuman untuk membuat efek jera dan tidak ditiru oleh yang lainnya,”ungkapnya.
Kendati dalam olahraga motivasi ekstrinsik yaitu untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, namun atlet tersebut jangan lupa terhadap motivasi intrinsik yaitu harga diri dan prestasi diri. Suhana menilai, langkah hukum merupakan salah satu langkah tepat. Pasalnya, apabila tidak ada ketegasan hukum maka praktik jual beli atlet sepihak tersebut akan merusak tatanan pembinaan keolahragaan.
''Olahraga profesional tentu berbeda dengan amatir. Sedangkan Irene kan merupakan atlet amatir. Bagamanapun juga ada wadah yang menaungi dirinya dan ada undang-undang hukum yang harus dipatuhi,”ujarnya.
Pecatur tersebut hengkang secara sepihak untuk memperkuat Jatim di Perehelatan multi even Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 di Jabar. Telah melanggar Surat Keputusan Nomor 56 Tahun 2010 yang dikeluarkan KONI Pusat mengenai proses mutasi atlet.
''Yang pasti dengan adanya MoU itu pihak Irene dan KONI Jatim ada pada posisi yang salah. Kita sudah tolak dengan tegas secara resmi, bahwa pengunduran diri Irene tidak sesuai dengan prosedur mutasi atlet,” tegas Sekretaris Umum (Sekum) Percasi Jabar, Dicky Irfan Rabu (6/3).
Dalam perjanjian Irene dan pihak Jatim, pasal 3 dan 4 tercantum Irene sebagai pihak kedua menerima uang pembinaan Rp 1 milyar dari KONI Jatim. Uang tersebut dibagi 2 termin, dimana Rp 200 juta sebagai uang muka dan setelah Irenee mengundurkan diri, sedangkan Rp 800 juta setelah surat persetujuan mutasi atlet ke Jatim dari PB Percasi.
Selain itu Irenee juga menerima uang dari Rp 4 juta/bulan. Dicky menilai olahraga ini merupakan olahrgaa amatir, sehingga pihaknya menolak dengan tegas mutasi Irene.
''Seperti Pengda, kalau ada mutasi dari kota/kabupaten ke kota/kabupaten lain antar daerah Se-Jabar, itu kesepakatan daerah tersebut yang memiliki atlet. Kita hanya menjembatani saja. Nanti ada surat dari Percasi kota/Kabupaten bahwa atletnya misalnya setuju pindak ke kota/kabupaten lain. Baru di catatkan di Pengda. Pada perinsipnya mekanisme kerja di PB juga sama. Sedangkan untuk Irene tidak seperti itu,”ungkapnya.
Ia mengaku, pihaknya terus berkoordinasi dengan KONI Jabar sebagai induk organisasi. Menurutnya langkah yang diambil KONI Jabar merupakan bentuk ketegasn hukum yang tepat.
''Saya kira KONI Jatim juga sudah mengetahui aturan itu, tapi ya kenyataannya seperti ini. Kami sangat menyayangkan itu,”ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bidang Psikologi KONI Jabar, Suhana menuturkan, hal tersebut adalah merupakan proses pembelajaran yang salah dana akan berimbas negative bagi pembinaan olahraga di Indonesia. Untuk itu, pihak-pihak terkait wajib memberikan hukuman tegas supaya tidak ada proses peniruan.
''Ini adalah proses belajar, di mana ada pemberian hadiah dan hukuman. Sedangkan untuk tindakan yang salah haruslah ada hukuman untuk membuat efek jera dan tidak ditiru oleh yang lainnya,”ungkapnya.
Kendati dalam olahraga motivasi ekstrinsik yaitu untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, namun atlet tersebut jangan lupa terhadap motivasi intrinsik yaitu harga diri dan prestasi diri. Suhana menilai, langkah hukum merupakan salah satu langkah tepat. Pasalnya, apabila tidak ada ketegasan hukum maka praktik jual beli atlet sepihak tersebut akan merusak tatanan pembinaan keolahragaan.
''Olahraga profesional tentu berbeda dengan amatir. Sedangkan Irene kan merupakan atlet amatir. Bagamanapun juga ada wadah yang menaungi dirinya dan ada undang-undang hukum yang harus dipatuhi,”ujarnya.
(aww)