Bukan Arema seperti ini yang saya inginkan
A
A
A
Sindonews.com - Terakhir saya kontak langsung dengan Lucky Adrianda Zaenal kira-kira setahun lalu. Kendati kondisi kesehatannya sudah menurun, dia selalu semangat berbincang, baik secara langsung atau melalui sambungan telepon. Pria yang disapa Sam Ikul ini memang selalu antusias saat ngobrol soal sepak bola.
Bagi saya pribadi, Sam Ikul adalah sosok sahabat, senior, sekaligus guru yang sangat saya segani. Dia adalah salah satu tokoh yang selalu mengingatkan saya untuk selalu kritis sebagai jurnalis. Bahkan tak jarang mengajurkan saya untuk mengkritisi sepak terjangnya sendiri.
Kalimat terakhir yang paling saya ingat adalah, “Bukan Arema seperti ini yang saya inginkan”. Kalimat itu menggambarkan kesedihan dan kepedihan mendalam suami Novi Adrianda Zaenal ini menyaksikan klub yang dibentuknya 25 tahun silam terpecah menjadi dua.
Sam Ikul yang sudah menyerah dalam mengelola Arema IPL, menginginkan Arema kembali menjadi satu klub yang selama ini menjadi bagian sejarah sepakbola Indonesia. Sayang sebelum impiannya menjadi kenyataan, Sam Ikul harus berpulang. Semoga impiannya kelak menjadi kenyataan.
Ada dua kepedihan paling mendalam yang pernah diungkapkannya selama menangani Arema. Yakni ketika Arema terdegradasi ke Divisi Utama pada 2003 dan saat Arema terpecah menjadi dua klub yang bertanding di kompetisi berbeda, Indonesia Super League (ISL) dan Indonesian Premier League (IPL).
Di sepakbola sendiri, terutama dalam perjalanan Arema, saya menilai dia adalah sosok fenomenal sekaligus kontroversial. Protagonis sekaligus antagonis. Sederhananya, Sam Ikul adalah sosok yang benar-benar merasakan jatuh-bangun di dunia sepakbola. Dari memiliki kerajaan bola sampai kehilangan segalanya.
Saya mengenal putra almarhum Acub Zaenal ini kira-kira 15 tahun silam. Sejak dia masih memegang penuh kendali Arema yang saat itu berkandang di Stadion Gajayana. Sejak pertama bertemu di awal karir saya sebagai wartawan, saya menilai dia pribadi yang positif walau banyak yang memperbincangkan sisi negatifnya.
Menghargai lawan bicara dan tidak suka meremehkan orang. Saya yang waktu itu bekerja di media lokal yang kecil dan tak terlalu berpengaruh, merasakan penghargaan yang tinggi dari dia. Sam Ikul tidak membeda-bedakan orang dan menganggap semuanya sebagai sahabat.
Sebagai tokoh utama di klub berjuluk Singo Edan, perjalanan Sam Ikul memang penuh liku-liku sebelum akhirnya kehilangan Arema pada 2003 karena diakuisisi PT Bentoel Prima. Dia pernah dituding menjual pertandingan Arema demi menghidupi klub, juga pernah didesak mundur oleh supporter kala Arema di ambang degradasi di era 2002.
Selang satu dekade kemudian, Sam Ikul juga merasakan bagaimana dihina secara fisik sebagian supporter saat pilih mengelola Arema IPL. Tapi dia juga pernah disanjung kala Arema menjuarai kompetisi Galatama di awal 1990-an. Sebagai pendiri klub, Sam Ikul juga tidak pernah dilupakan Aremania.
Sam Ikul adalah pribadi yang tangguh. Dia tidak menjadikan sebuah cercaan dan hinaan sebagai sebuah rintangan. Dengan gaya khasnya, dia selalu berusaha kalem dan tersenyum dalam situasi apa pun. Sekadar cerita, pernah suatu ketika ada tokoh supporter yang melontarkan cercaan pedas kepada Sam Ikul dalam sebuah demo.
Tapi ketika berhadapan langsung dengan Sam Ikul, tokoh supporter tersebut langsung surut nyali, tertunduk dan tidak bisa berkata apa pun. Padahal Sam Ikul waktu itu sudah dalam keadaan tidak bisa melihat karena penyakit glukoma. Itu sebagai gambaran betapa kuatnya kharakter sekaligus kharisma Sam Ikul.
Mungkin banyak yang tidak senang dengan sepak terjangnya di Arema. Tapi mereka-mereka yang tidak suka itu tentu tidak ingat bagaimana jasa luar biasa Lucky Adrianda Zaenal. Pada 1987 bia mendirikan sebuah klub bernama Arema dan sejak itu mengubah wajah kota Malang secara drastis.
Tidak butuh waktu lama, Arema menjadi urat nadi masyarakat Malang. Bukan hanya dunia sepakbola, tapi berbagai sendi kehidupan. Dari perekonomian misalnya, Arema telah menjadi 'brand' asal Malang dan banyak dipakai di dunia usaha. Tak terhitung berapa banyak manusia yang sekarang hidupnya 'dicukupi' oleh Arema.
Patut diingat juga bagaimana Arema sanggup mempersatukan kelompok atau geng di Kota Malang yang dulunya selalu berseteru. Sejak Arema lahir dan besar, sudah tidak ditemui lagi sengketa antar kelompok di Malang. Itu hanya contoh kecil efek keberadaan Arema yang semuanya dimulai dari pemikiran Lucky Adrianda Zaenal.
Sam Ikul telah menyaksikan klub yang didirikannya menggapai semua gelar, Galatama, Divisi Utama, Piala Indonesia, hingga Juara ISL. Sekarang tinggal satu impian yang belum sempat disaksikan, yakni melihat Arema menjadi satu kembali dan merajai sepakbola Indonesia. Selamat jalan Sam Ikul.*
Bagi saya pribadi, Sam Ikul adalah sosok sahabat, senior, sekaligus guru yang sangat saya segani. Dia adalah salah satu tokoh yang selalu mengingatkan saya untuk selalu kritis sebagai jurnalis. Bahkan tak jarang mengajurkan saya untuk mengkritisi sepak terjangnya sendiri.
Kalimat terakhir yang paling saya ingat adalah, “Bukan Arema seperti ini yang saya inginkan”. Kalimat itu menggambarkan kesedihan dan kepedihan mendalam suami Novi Adrianda Zaenal ini menyaksikan klub yang dibentuknya 25 tahun silam terpecah menjadi dua.
Sam Ikul yang sudah menyerah dalam mengelola Arema IPL, menginginkan Arema kembali menjadi satu klub yang selama ini menjadi bagian sejarah sepakbola Indonesia. Sayang sebelum impiannya menjadi kenyataan, Sam Ikul harus berpulang. Semoga impiannya kelak menjadi kenyataan.
Ada dua kepedihan paling mendalam yang pernah diungkapkannya selama menangani Arema. Yakni ketika Arema terdegradasi ke Divisi Utama pada 2003 dan saat Arema terpecah menjadi dua klub yang bertanding di kompetisi berbeda, Indonesia Super League (ISL) dan Indonesian Premier League (IPL).
Di sepakbola sendiri, terutama dalam perjalanan Arema, saya menilai dia adalah sosok fenomenal sekaligus kontroversial. Protagonis sekaligus antagonis. Sederhananya, Sam Ikul adalah sosok yang benar-benar merasakan jatuh-bangun di dunia sepakbola. Dari memiliki kerajaan bola sampai kehilangan segalanya.
Saya mengenal putra almarhum Acub Zaenal ini kira-kira 15 tahun silam. Sejak dia masih memegang penuh kendali Arema yang saat itu berkandang di Stadion Gajayana. Sejak pertama bertemu di awal karir saya sebagai wartawan, saya menilai dia pribadi yang positif walau banyak yang memperbincangkan sisi negatifnya.
Menghargai lawan bicara dan tidak suka meremehkan orang. Saya yang waktu itu bekerja di media lokal yang kecil dan tak terlalu berpengaruh, merasakan penghargaan yang tinggi dari dia. Sam Ikul tidak membeda-bedakan orang dan menganggap semuanya sebagai sahabat.
Sebagai tokoh utama di klub berjuluk Singo Edan, perjalanan Sam Ikul memang penuh liku-liku sebelum akhirnya kehilangan Arema pada 2003 karena diakuisisi PT Bentoel Prima. Dia pernah dituding menjual pertandingan Arema demi menghidupi klub, juga pernah didesak mundur oleh supporter kala Arema di ambang degradasi di era 2002.
Selang satu dekade kemudian, Sam Ikul juga merasakan bagaimana dihina secara fisik sebagian supporter saat pilih mengelola Arema IPL. Tapi dia juga pernah disanjung kala Arema menjuarai kompetisi Galatama di awal 1990-an. Sebagai pendiri klub, Sam Ikul juga tidak pernah dilupakan Aremania.
Sam Ikul adalah pribadi yang tangguh. Dia tidak menjadikan sebuah cercaan dan hinaan sebagai sebuah rintangan. Dengan gaya khasnya, dia selalu berusaha kalem dan tersenyum dalam situasi apa pun. Sekadar cerita, pernah suatu ketika ada tokoh supporter yang melontarkan cercaan pedas kepada Sam Ikul dalam sebuah demo.
Tapi ketika berhadapan langsung dengan Sam Ikul, tokoh supporter tersebut langsung surut nyali, tertunduk dan tidak bisa berkata apa pun. Padahal Sam Ikul waktu itu sudah dalam keadaan tidak bisa melihat karena penyakit glukoma. Itu sebagai gambaran betapa kuatnya kharakter sekaligus kharisma Sam Ikul.
Mungkin banyak yang tidak senang dengan sepak terjangnya di Arema. Tapi mereka-mereka yang tidak suka itu tentu tidak ingat bagaimana jasa luar biasa Lucky Adrianda Zaenal. Pada 1987 bia mendirikan sebuah klub bernama Arema dan sejak itu mengubah wajah kota Malang secara drastis.
Tidak butuh waktu lama, Arema menjadi urat nadi masyarakat Malang. Bukan hanya dunia sepakbola, tapi berbagai sendi kehidupan. Dari perekonomian misalnya, Arema telah menjadi 'brand' asal Malang dan banyak dipakai di dunia usaha. Tak terhitung berapa banyak manusia yang sekarang hidupnya 'dicukupi' oleh Arema.
Patut diingat juga bagaimana Arema sanggup mempersatukan kelompok atau geng di Kota Malang yang dulunya selalu berseteru. Sejak Arema lahir dan besar, sudah tidak ditemui lagi sengketa antar kelompok di Malang. Itu hanya contoh kecil efek keberadaan Arema yang semuanya dimulai dari pemikiran Lucky Adrianda Zaenal.
Sam Ikul telah menyaksikan klub yang didirikannya menggapai semua gelar, Galatama, Divisi Utama, Piala Indonesia, hingga Juara ISL. Sekarang tinggal satu impian yang belum sempat disaksikan, yakni melihat Arema menjadi satu kembali dan merajai sepakbola Indonesia. Selamat jalan Sam Ikul.*
(wbs)