Haruskah Sepak Bola Dimusnahkan dari Bumi Indonesia?

Sabtu, 04 April 2015 - 08:00 WIB
Haruskah Sepak Bola...
Haruskah Sepak Bola Dimusnahkan dari Bumi Indonesia?
A A A
JAKARTA - Hanya dua tahun setelah berakhirnya konflik dualisme PSSI, sepak bola di negeri ini kembali harus mengalami distorsi. Namun kali ini pemicunya bukan pertikaian di dalam tubuh federasi, melainkan langkah bapak Menteri Imam Nahrawi yang akhirnya membuat sepak bola dalam negeri kembali berada di bawah ancaman sanksi. Meski mengaku memiliki niat mulia demi mengembalikan harkat dan martabat sepak bola Indonesia, namun langkah Menteri Pemuda dan Olah raga nyatanya malah membawa Indonesia ke dalam jurang bahaya.

Awalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia merasa terkesima dengan langkah berani bapak menteri yang berjanji akan membongkar kasus mafia bola yang telah banyak merugikan cabang olah raga paling populer Indonesia. Namun kenyataannya, Menpora seakan lupa dengan rencana awalnya dan mulai menciptakan berbagai drama yang akhirnya membuat banyak pecinta sepak bola Indonesia geleng-geleng kepala dibuatnya.

Bagaimana tidak, hanya beberapa hari jelang digelarnya kompetisi kasta tertinggi di negeri ini, BOPI (Badan Olah Raga Profesional Indonesia) yang merupakan kepanjangan tangan bapak menteri justru tidak memberikan rekomendasi kepada dua klub yang notabene punya nama besar di sejarah persepakbolaan negeri ini (Arema & Persebaya). Dan anehnya, alasan BOPI untuk tidak memberikan rekomendasi kepada Arema dan Persebaya karena dua klub tersebut dianggap masih memiliki masalah dengan status kepemilikan dan legalitas mereka.

Hal ini jelas bisa dibilang sangat mengada-ada. Pasalnya, sebagai sebuah lembaga non pemerintah yang hanya boleh tunduk kepada FIFA sebagai pucuk pimpinannya, PSSI seharusnya tidak bisa mendapat intervensi langsung dari pemerintah. Bahkan, walaupun klub-klub yang menjadi anggota mereka memiliki sengketa, maka ada mekanisme sendiri untuk menyelesaikannya sesuai dengan apa yang disepakati oleh kedua belah pihak sebagai subjek hukum saat mendaftar menjadi anggota.

Masalahnya, baik PSSI, BOPI dan bahkan Imam Nahrawi sebagai Menteri pastinya sudah mengetahui benar soal ketetapan ini. Lalu apa sebenarnya yang membuat BOPI akhirnya terus memaksakan diri untuk melarang bahkan mengancam Arema dan Persebaya untuk tidak boleh mengikuti kompetisi? Apakah ini satu-satunya cara yang diketahui pemerintah untuk membantu sepak bola? Atau malah mereka memang sengaja ingin membumi hanguskan sepak bola dari bumi Indonesia? Karena bila pemerintah dalam hal ini BOPI dan Menpora terus memaksakan hal ini, bukan tidak mungkin FIFA akan menjatuhkan hukuman yang membuat Indonesia terdepak dari percaturan sepak bola dunia.

Dan tentu saja, dengan tidak mengizinkan Arema serta Persebaya berlaga di kancah liga, maka pemerintah tanpa sadar juga telah mematikan hak hidup orang banyak yang secara langsung turut menggantungkan nasib mereka pada penyelenggaraan pertandingan sepak bola. Bukan hanya pelatih, pemain dan semua yang terlibat langsung dengan Arema dan Persebaya, namun tanpa disadari ada sejumlah kelompok masyarakat seperti pengusaha hingga pedagang asongan yang juga akan merasakan dampak langsung dari arogansi pemerintah.

Diah Ermawati adalah salah satu contoh nyata, pedagang bakso bakar yang sempat menjajakan dagangannya saat Arema menggelar laga, mengaku bisa mendapat penghasilan hingga Rp700 ribu hanya dalam kurun waktu kurang dari lima jam. Atau mungkin Erwin Nuryati, pedagang minuman dingin ini, mengaku bisa mengantongi keuntungan sebesar Rp250 ribu hanya dalam waktu singkat saat Arema menggelar sebuah pertandingan. Apakah kemudian mereka ini bukan tergolong sebagai rakyat Indonesia yang juga harus dilindungi hak-haknya?

Lalu apa sebenarnya langkah yang bisa diambil pemerintah untuk ikut memperbaiki persepak bolaan Indonesia? Jawabannya sebenarnya tidak terlalu sulit, pemerintah bisa memulainya dengan menyisihkan dana negara untuk membangun sejumlah fasilitas pendukung yang selama ini terbengkalai. Karena harus diingat, hingga saat ini PSSI selaku organisasi yang mandiri, tidak pernah menggunakan dana pemerintah meskipun pada kenyataanya, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk bahkan membina Tim Nasional.

Contohnya saja stadion. Meski telah memiliki klub-klub profesional yang mampu menembus level regional Asia, tetap saja stadion sebagai sarana yang paling utama masih sering menjadi masalah. Bahkan, setiap dimulainya musim kompetisi anyar, tidak sedikit klub nasional yang kebingungan menentukan stadion mana yang akan mereka gunakan untuk menggelar laga kandang.

Disinilah pemerintah harusnya berperan. Bila saja setiap daerah memiliki paling tidak satu stadion bertaraf internasional, maka dana sewa yang dikeluarkan klub tiap tahunnya bisa dimanfaatkan untuk menjalankan pendidikan usia muda. Karena pada kenyataanya, hingga saat ini setiap klub di Indonesia masih harus terbebani dengan harga sewa stadion yang sangat mahal hanya demi sekedar menggelar sebuah laga kandang.

Contohnya Persija Jakarta. Di tahun 2014 saja, pihak pengelola Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan-Jakarta menyatakan kalau harga sewa stadion untuk menggelar laga sepak bola nasional adalah sebesar Rp75 juta. Bila dalam semusim Persija menggelar 17 laga kandang, itu berarti klub Ibu Kota harus rela mengeluarkan dana sewa stadion sebesar Rp1,275 miliar.

Coba bayangkan, bila saja dana tersebut dialokasikan untuk membiayai pendidikan usia muda, maka Persija tentunya tidak akan pernah kehabisan stok pemain muda di setiap tahunnya. Dan tentu saja, Tim Nasional Indonesia sebagai tolak ukur sepak bola di level dunia, memiliki kans lebih besar untuk bisa benar-benar memaksimalkan talenta luar biasa yang tersebar di semua penjuru nusantara.

''Untuk kepentingan laga eksebisi bersama tim asal Eropa seperti Chelsea kemarin harganya Rp200 juta. Tapi kalau pertandingan nasional hanya Rp75 juta saja,'' ujar Tubani setahun silam saat menjabat sebagai Kepala Unit I Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Semoga saja pemerintah mau membuka mata. Karena sebenarnya, sepak bola sendiri lahir dan berkembang di Indonesia sebagi wadah pemersatu bangsa. Sepak bola bahkan bukan hanya sekedar olahraga, cabang ini hampir dikatakan sama seperti agama, karena di dalamnya terdapat fanatisme yang bisa membuat para penggilanya melupakan semua hal hanya untuk menyaksikan 22 pemain berjibaku di lapangan hijau demi memperebutkan si kulit bundar.
(rus)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7470 seconds (0.1#10.140)