Skuad timnas U-19 perlu diberi asupan psikologis

Minggu, 13 Oktober 2013 - 23:19 WIB
Skuad timnas U-19 perlu diberi asupan psikologis
Skuad timnas U-19 perlu diberi asupan psikologis
A A A
Sindonews.com - Sekali lagi masyarakat Indonesia disuguhi kekaguman terhadap permainan tim nasional (Timnas) U-19. Belum hilang euforia kita saat mereka menjuarai AFF U-19 Youth Championship 2013, Sabtu (12/10), anak-anak belasan tahun itu menggulingkan raksasa Korea Selatan.

Seluruh negeri kagum bukan karena kemenangan 3-2, tapi juga gaya bermain yang layak dinikmati. Kita bahkan sampai tidak ingat lagi kapan terakhir timnas Indonesia bermain dengan gaya seperti ini. Pujian, penghargaan, serta dukungan, layak diberikan kepada Evan Dimas dkk.

Tapi di tengah kegembiraan ini masih sempat muncul kekhawatiran di benak saya. Bukan soal bagaimana kualitas individu maupun permainan secara keseluruhan di lapangan, tapi pada kemampuan pemain dalam manajemen diri sendiri. Mereka melejit dengan sangat cepat.

Dua bulan lalu kita tidak begitu mengenal siapa Evan Dimas, Ravi Mudianto, Ilham Udin, Maldini, serta pemain lainnya. Kini kebintangan dan heroisme mereka sudah melebihi pemain timnas senior. Pertanyaannya kini adalah mampukah mental mereka menahan kebintangan tersebut.

Kekhawatiran ini muncul dari pengalaman saya sendiri sekaligus penuturan rekan yang pernah berjibaku bersama pemain-pemain muda. Ketika pemain sudah menapaki level yang lebih tinggi, banyak aspek dalam diri mereka berubah dalam sekejap, terutama disebabkan kondisi yang jauh berbeda dibanding sebelumnya.

Di awal 2000-an, saya sempat dekat dengan satu pemain Timnas U-19. Dia begitu menjanjikan dan berpotensi menjadi pemain bagus di masa depan. Tapi buruknya pengendalian diri pada akhirnya membuat dia bukan siapa-siapa. Berlatar belakang keluarga miskin, dia lupa diri dengan segala yang dia dapat.

Salah satu rekan yang pernah menangani pemain muda juga mengeluhkan perubahan gaya hidup setelah pemain berprestasi. “Mereka menjadi dewasa secara tiba-tiba. Cewek adalah godaan paling besar, juga gaya hidup seperti ke tempat hiburan. Mereka lupa menambah jam latihan untuk meningkatkan kemampuan,” begitu penuturan rekan saya.

Sudah bukan rahasia, perempuan adalah godaan terbesar bagi pemain sepakbola. Teman saya itu juga menuturkan bagaimana banyak pemain belasan tahun sudah berorientasi perempuan ketika melakukan pertandingan di luar kota. Menurut saya itu adalah buntut dari keterkejutan ekonomi dan manajemen diri yang buruk.

Sebagian besar pemain bola kita berasal dari keluarga yang kurang mampu atau kelas bawah. Mereka mengalami keterbatasan sepanjang hidupnya sebelum sukses menjadi pesepakbola. Ketika isi rekening sudah delapan atau sembilan digit, mereka merasa bisa membeli apa pun setelah sekian lama hidup dalam kekurangan.

Mental mereka sebagai pemain yang dulu serba kekurangan tak mampu menahan godaan. Perempuan, hura-hura, atau lebih buruk narkoba, menjadi ancaman besar bagi pemain muda. Belum lagi cepat puas dengan apa yang diperoleh sekarang sehingga lupa menambah porsi latihan untuk mengasah skill individu.

Saya lega ketika Pelatih Timnas U-19 Indra Sjafri sangat menekan sisi spiritual pemain. Itu benteng pertama yang harus dibangun agar pemain tidak bertingkah macam-macam setelah meraih kesuksesan. Paling tidak pemain tetap rendah hati menghadapi kesuksesan yang sedemikian cepat.

Masalahnya, Indra sendiri juga tidak bisa mengawasi pemain 24 jam ketika tidak sedang dalam turnamen dan berkumpul bersama. Di sinilah pentingnya memberikan asupan khusus bagi pemain sebagai langkah untuk mengolah kepribadiannya.

Saya yakin pemain Timnas U-19 adalah anak-anak baik yang jauh dari perbuatan negatif. Tapi akan jauh lebih baik jika PSSI sebagai otoritas sepakbola Indonesia memberikan ‘fasilitas’ lebih kepada pemain-pemain bersejarah ini dalam menggarap aspek mental.

Misalnya mengirimkan seorang psikolog atau ahli yang khusus membimbing pemain agar bisa menjalankan manajemen dirinya dengan lebih baik. Harus disadari pemain Timnas U-19 ini kebanyakan belum memiliki edukasi yang tinggi, dari keluarga kurang mampu, serta berasal dari pelosok.

Sistem sekolah sepakbola (SSB) atau akademi di Indonesia juga tidak ada pendekatan psikologis untuk pemain. Sepanjang yang saya ketahui, sistem pembinaan hanya sekadar berlatih di lapangan tanpa ada kelas khusus untuk memoles kepribadian pemain.

Itu menjadi masalah ketika pemain harus bereaksi terhadap berbagai tekanan, termasuk mulai menurunnya performa hingga mengelola kritikan. Orang-orang di sekitar, bahkan keluarga pun, terkadang tidak paham bagaimana memberikan motivasi jitu untuk si pemain melalui komunikasi yang benar.

Jadi, mereka tidak hanya butuh materi latihan memainkan bola saja, tapi juga sentuhan-sentuhan psikologis secara kontinyu agar mampu menghadapi berbagai tantangan dan godaan. Menurut saya ini sangat penting dan mereka layak menerimanya karena sudah mencatat sejarah baru sekaligus memberikan momentum terbaik bagi kesuksesan sepakbola Indonesia. Jayalah, Garuda Muda!
(nug)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5385 seconds (0.1#10.140)