Klub Raksasa Berpesta, Klub Jelata Sengsara

Rabu, 21 Oktober 2015 - 15:32 WIB
Klub Raksasa Berpesta, Klub Jelata Sengsara
Klub Raksasa Berpesta, Klub Jelata Sengsara
A A A
SURABAYA - Pergelaran turnamen demi turnamen di tengah kosongnya kompetisi reguler terbukti membangkitkan gairah sepak bola tanah air. Misalnya Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden 2015 yang baru saja kelar selama periode Agustus hingga Oktober.

Walau disebut pengobat kerinduan publik sepak bola nasional, turnamen disebut tak akan sama dengan kompetisi reguler. Turnamen itu terbukti hanya menjadi santapan klub-klub besar dan tidak benar-benar 'menafkahi' tim kecil dengan pendanaan terbatas. Raksasa berpesta, jelata tetap sengsara.

Piala Presiden misalnya, semifinalisnya adalah Persib Bandung, Arema Cronus, Mitra Kukar dan Sriwijaya FC. Mereka adalah klub dengan pendanaan lumayan mapan dan mencicipi semua laga hingga partai terakhir atau total delapan pertandingan. Itu berbeda dengan tim yang memiliki aset terbatas.

Sebut saja Persela Lamongan, Persegres Gresik United, Persipasi Bandung Raya, serta klub-klub di bawahnya. Tak berstatus tuan rumah, mereka juga hanya mampu bermain di tiga laga alias sudah tersingkir di fase grup. Itu karena aset tim, persiapan dan permodalan sangat mepet.

Bagi klub-klub tersebut, turnamen tidak memberikan dampak berarti. Keikutsertaan mereka hanya untuk memghidupkan aktivitas sepak bola, sekaligus membuka ladang pendapatan untuk pemain yang tak seberapa. Klub sendiri malah harus tekor tanpa sumber dana pasti.

"Kondisi itu yang kadang membuat kami kurang semangat walau ada turnamen. Sangat berbeda dengan kompetisi, karena kompetisi akan memberikan jatah bermain yang sama kepada tim, bisa cari sponsor. Juga ada pertandingan kandang. Ini tak ada dalam sebuah turnamen," kata Bagoes Cahyo Yuwono, Manajer Persegres.

Ditambah lagi turnamen dalam skala besar selalu menunjuk venue itu-itu saja, seperti Malang, Bandung, Palembang. Pada akhirnya klub kecil hanya menjadi tim tamu dan sama sekali tak mendapatkan keuntungan, baik pendapatan tiket maupun keuntungan mental tim.

Bagoes berharap pihak-pihak yang merasa berwenang terhadap nasib sepak bola Indonesia merenungi perbedaan tersebut. Walau turnamen seperti Piala Indonesia memakai sistem subsidi untuk klub, tetap saja itu tak banyak memberikan pengaruh positif dan klub tetap tekor.

Turnamen yang menunjuk venue tertentu juga tidak menggairahkan bagi pihak yang terkait dengan aktivitas sepak bola. Perekonomian yang selama ini berjalan beriringan dengan kegiatan di stadion menjadi mandeg bagi mereka yang bukan tuan rumah. Seperti halnya Persela Lamongan.

"Semakin banyak pertanyaan kapan liga digelar, terutama dari pedagang yang selama ini berjualan di stadion saat pertandingan. Mereka ingin secepatnya ada kompetisi, karena setelah berhentinya QNB League tak ada lagi pertandingan besar di Stadion Surajaya," kata Sekretaris Persela Lamongan Muji Santoso.

Ya, laga resmi terakhir yang dijalani Persela adalah QNB League pada awal 2015 lalu saat menjamu Barito Putra dan Persija Jakarta. Setelah itu tidak ada kegiatan apa pun di Surajaya, karena Persela bermain di Malang pada Piala Presiden 2015 dan tersingkir di fase grup.

Pembina Arema Cronus Lalu Mara Satria Wangsa memandang dari sudut berbeda. Menurutnya turnamen tidak akan menyamai sebuah kompetisi karena tidak ada jenjang bagi sang juara. Pada dasarnya turnamen hanyalah perburuan hadiah uang dan sedikit kebanggaan bagi juaranya.

"Ini (turnamen) euforia sesaat, jadi tak bisa disamakan dengan kompetisi. Tak ada jenjang bagi tim juara. Saya lihat beberapa tim juga mempersiapkan diri dengan setengah-setengah alias tidak total. Kalau ingin benar-benar memberikan efek menyeluruh, ya pastinya lewat kompetisi," tutur Lalu Mara.
(aww)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9747 seconds (0.1#10.140)
pixels