Lanjutan Dongeng Leipzig Jadi Tim Elite Eropa dalam Kurun 10 Tahun
loading...
A
A
A
LISABON - RB Leipzig adalah dongeng tentang sebuah klub yang mungkin akan sulit diikuti oleh sebagian besar tim di muka bumi. Mereka membangun reputasi sebagai tim elite di domestik dan Eropa hanya dalam hitungan 10 tahun.
Sejak kelahirannya, perjalanan Leipzig seperti sebuah dongeng yang akan dipenuhi keindahan. Lahir di tahun 2009/2010 dan memulai perjalanan dari level lima kompetisi Jerman, mereka kemudian sudah menjadi runner-up Bundesliga tujuh tahun kemudian atau hanya satu musim setelah promosi dari 2 Bundesliga.
Mereka juga hanya butuh waktu dua tahun untuk menjejakkan kaki di perempat final Liga Champions, setelah untuk pertama kali dalam sejarah klub ambil bagian di kompetisi tertinggi Benua Biru tersebut pada musim 2017/2018.
Lebih hebat lagi, mereka melakukannya tidak dengan uang besar, seperti dilakukan Chelsea dan Manchester City yang memotong era ketertinggalan mereka di Liga Primer dengan jorjoran di pasar belanja pemain. Leipzig juga tetap stabil meski mereka kehilangan pemain bintang dalam setiap musim. (Baca: RB Leipzig Belum rela Lepas Timo Warmer)
Kisah ini yang mungkin membuat tak semua suka dengan tim berjuluk Die Rotten Bullen. Pro dan kontra mengiringi perjalanan mereka menjadi salah satu klub potensial di Jerman. Mereka bahkan sangat dibenci di Jerman. Penyebabnya adalah klub tersebut besar di bawah kepemilikan Red Bull GmbH yang merupakan perusahaan minuman berenergi asal Austria.
Kisah itu dimulai saat Red Bull mempertimbangkan beberapa klub seperti Hamburg, TSV 1860 Munich, dan Fortuna Dusserldorf, namun gagal lantaran mendapatkan protes keras dari fans. Bisa dipahami karena mereka khawatir Red Bull menghapus identitas klub, seperti halnya saat mengakuisisi klub papan atas Austria SV Austria Salzburg pada 2005.
Klub tersebut berubah nama menjadi Red Bull Salzburg plus perubahan lambang klub, staf, dan warna kostum. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan negosiasi, Red Bull memutuskan memulai segalanya dari bawah. Sebagai langkah pertama, Red Bull membeli lisensi bermain klub Divisi V SSV Markranstadt yang berada di Leipzig pada 2009.
Totalitas Red Bull begitu terasa. Mereka membeli lisensi klub, mengganti nama, lambang, dan perlengkapannya, serta menjanjikan anggaran transfer sebesar 100 juta euro. Itu dilakukan karena sejarah sepak bola di Leipzig rumit, dengan sejumlah klub telah dibentuk dan dibubarkan sejak berdirinya.
Pilihan Red Bulls membangun tim di Leipzig tepat. Melalui perjuangan keras, Leipzig akhirnya mencapai Bundesliga pada 2016 di bawah komando Ralf Rangnick. Terasa emosional mengingat kota tersebut telah tanpa tim papan atas selama 22 tahun. (Baca juga: Postingan Menghujat Nabi Muhammad Picu Bentrokan di India, Tiga Tewas)
Namun, di musim perdana mereka di Bundesliga, Leipzig lagi-lagi menghadapi reaksi dari pendukung lawan. Sering disebut sebagai "klub paling dibenci di Jerman" dan masih menghadapi protes reguler dari penggemar tim lawan.
Sejak kelahirannya, perjalanan Leipzig seperti sebuah dongeng yang akan dipenuhi keindahan. Lahir di tahun 2009/2010 dan memulai perjalanan dari level lima kompetisi Jerman, mereka kemudian sudah menjadi runner-up Bundesliga tujuh tahun kemudian atau hanya satu musim setelah promosi dari 2 Bundesliga.
Mereka juga hanya butuh waktu dua tahun untuk menjejakkan kaki di perempat final Liga Champions, setelah untuk pertama kali dalam sejarah klub ambil bagian di kompetisi tertinggi Benua Biru tersebut pada musim 2017/2018.
Lebih hebat lagi, mereka melakukannya tidak dengan uang besar, seperti dilakukan Chelsea dan Manchester City yang memotong era ketertinggalan mereka di Liga Primer dengan jorjoran di pasar belanja pemain. Leipzig juga tetap stabil meski mereka kehilangan pemain bintang dalam setiap musim. (Baca: RB Leipzig Belum rela Lepas Timo Warmer)
Kisah ini yang mungkin membuat tak semua suka dengan tim berjuluk Die Rotten Bullen. Pro dan kontra mengiringi perjalanan mereka menjadi salah satu klub potensial di Jerman. Mereka bahkan sangat dibenci di Jerman. Penyebabnya adalah klub tersebut besar di bawah kepemilikan Red Bull GmbH yang merupakan perusahaan minuman berenergi asal Austria.
Kisah itu dimulai saat Red Bull mempertimbangkan beberapa klub seperti Hamburg, TSV 1860 Munich, dan Fortuna Dusserldorf, namun gagal lantaran mendapatkan protes keras dari fans. Bisa dipahami karena mereka khawatir Red Bull menghapus identitas klub, seperti halnya saat mengakuisisi klub papan atas Austria SV Austria Salzburg pada 2005.
Klub tersebut berubah nama menjadi Red Bull Salzburg plus perubahan lambang klub, staf, dan warna kostum. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan negosiasi, Red Bull memutuskan memulai segalanya dari bawah. Sebagai langkah pertama, Red Bull membeli lisensi bermain klub Divisi V SSV Markranstadt yang berada di Leipzig pada 2009.
Totalitas Red Bull begitu terasa. Mereka membeli lisensi klub, mengganti nama, lambang, dan perlengkapannya, serta menjanjikan anggaran transfer sebesar 100 juta euro. Itu dilakukan karena sejarah sepak bola di Leipzig rumit, dengan sejumlah klub telah dibentuk dan dibubarkan sejak berdirinya.
Pilihan Red Bulls membangun tim di Leipzig tepat. Melalui perjuangan keras, Leipzig akhirnya mencapai Bundesliga pada 2016 di bawah komando Ralf Rangnick. Terasa emosional mengingat kota tersebut telah tanpa tim papan atas selama 22 tahun. (Baca juga: Postingan Menghujat Nabi Muhammad Picu Bentrokan di India, Tiga Tewas)
Namun, di musim perdana mereka di Bundesliga, Leipzig lagi-lagi menghadapi reaksi dari pendukung lawan. Sering disebut sebagai "klub paling dibenci di Jerman" dan masih menghadapi protes reguler dari penggemar tim lawan.