Momen Muhammad Ali dan Malcolm X Sarapan Bersama, Awal sang Legenda Jadi Mualaf
loading...
A
A
A
JAKARTA - Enam puluh tahun lalu, sarapan ikonik terjadi antara dua tokoh dalam sejarah Amerika, Muhammad Ali dan Malcolm X dan dunia pun tidak pernah sama lagi.
Pada 27 Februari 1964, Muhammad Ali - yang saat itu dikenal sebagai Cassius Clay - baru saja memastikan kemenangan melawan Sonny Liston dan menjadikannya juara kelas berat dunia.
Sarapan bersama Malcolm X , seorang pemimpin hak-hak sipil terkemuka dan anggota Nation of Islam, melambangkan momen penting dalam hidup Ali saat ia sarapan di Hampton House di Florida.
Tak lama setelah sarapan ini, Ali mengumumkan secara terbuka perubahan keyakinannya menjadi seorang Muslim dan memakai nama Muhammad Ali , yang menandai perubahan besar pada jati diri pribadi dan profesionalnya.
Peristiwa penting ini baru-baru ini dikenang oleh sang putri, Maryum Ali dan Ilyasah Shabazz yang berbagi kenangan dan refleksi mereka tentang sarapan ikonik antara ayah mereka.
Putri-putri dari kedua tokoh sejarah ini baru-baru ini meninjau kembali momen ini, berbagi perspektif unik tentang hubungan ayah mereka dan dampaknya pada dunia.
Maryum Ali dan Ilyasah Shabazz membahas bagaimana pertemuan ini tidak hanya memengaruhi kehidupan ayah mereka, tetapi juga meninggalkan warisan abadi bagi mereka sendiri, dan perjuangan yang lebih luas untuk hak-hak sipil dan keadilan sosial.
Bagaimana Malcolm X membantu Muhammad Ali jadi Mualaf?
Maryum Ali merenungkan kekaguman ayahnya terhadap Malcolm X dan bimbingan yang diberikannya selama masa krusial dalam kariernya. Ia menekankan bagaimana bimbingan Malcolm membantu Ali menavigasi kompleksitas ketenaran, keyakinan, dan aktivisme.
"Saya pikir ayah saya mengagumi keinginan Malcolm untuk terus belajar dan tumbuh secara intelektual dan spiritual," katanya. "Dan saya pikir dia belajar dari itu karena ayah saya juga seperti itu," kata Maryum.
Ilyasah Shabazz pun mengungkap dedikasi ayahnya dalam memberdayakan warga Afrika Amerika dan visinya untuk kesetaraan, yang sangat menyentuh hati Ali.
Refleksi kedua putrinya menyoroti ikatan mendalam antara Ali dan Malcolm X, yang berakar pada rasa saling menghormati dan tujuan bersama. Pertemuan sarapan mereka dikenang bukan hanya sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai bukti kekuatan persatuan dan perjuangan abadi untuk keadilan di Amerika Serikat .
Pada 27 Februari 1964, Muhammad Ali - yang saat itu dikenal sebagai Cassius Clay - baru saja memastikan kemenangan melawan Sonny Liston dan menjadikannya juara kelas berat dunia.
Sarapan bersama Malcolm X , seorang pemimpin hak-hak sipil terkemuka dan anggota Nation of Islam, melambangkan momen penting dalam hidup Ali saat ia sarapan di Hampton House di Florida.
Tak lama setelah sarapan ini, Ali mengumumkan secara terbuka perubahan keyakinannya menjadi seorang Muslim dan memakai nama Muhammad Ali , yang menandai perubahan besar pada jati diri pribadi dan profesionalnya.
Peristiwa penting ini baru-baru ini dikenang oleh sang putri, Maryum Ali dan Ilyasah Shabazz yang berbagi kenangan dan refleksi mereka tentang sarapan ikonik antara ayah mereka.
Putri-putri dari kedua tokoh sejarah ini baru-baru ini meninjau kembali momen ini, berbagi perspektif unik tentang hubungan ayah mereka dan dampaknya pada dunia.
Maryum Ali dan Ilyasah Shabazz membahas bagaimana pertemuan ini tidak hanya memengaruhi kehidupan ayah mereka, tetapi juga meninggalkan warisan abadi bagi mereka sendiri, dan perjuangan yang lebih luas untuk hak-hak sipil dan keadilan sosial.
Bagaimana Malcolm X membantu Muhammad Ali jadi Mualaf?
Maryum Ali merenungkan kekaguman ayahnya terhadap Malcolm X dan bimbingan yang diberikannya selama masa krusial dalam kariernya. Ia menekankan bagaimana bimbingan Malcolm membantu Ali menavigasi kompleksitas ketenaran, keyakinan, dan aktivisme.
"Saya pikir ayah saya mengagumi keinginan Malcolm untuk terus belajar dan tumbuh secara intelektual dan spiritual," katanya. "Dan saya pikir dia belajar dari itu karena ayah saya juga seperti itu," kata Maryum.
Baca Juga
Ilyasah Shabazz pun mengungkap dedikasi ayahnya dalam memberdayakan warga Afrika Amerika dan visinya untuk kesetaraan, yang sangat menyentuh hati Ali.
Refleksi kedua putrinya menyoroti ikatan mendalam antara Ali dan Malcolm X, yang berakar pada rasa saling menghormati dan tujuan bersama. Pertemuan sarapan mereka dikenang bukan hanya sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai bukti kekuatan persatuan dan perjuangan abadi untuk keadilan di Amerika Serikat .
(tdy)